Assalamu'alaikum. Selamat datang di blog yang saya buat jauh dari sempurna ini. Semoga bermanfaat...

MasyaAllah

Sunday, June 22, 2008

Tadarus Kehidupan

Teman
Teman adalah investasi masa depan.
Demikian kata pedagang
Atau
Orang-orang yang bermental dagang.
Teman adalah lawan dialog untuk
Mempercanggih
Keilmuan
Bahkan
Menjadi kelinci percobaan.
Demikian kata ilmuwan.
Teman adalah samudera yang luas
Dan dalam,
Perlu berenang dan menyelam sangat lama
Dan penuh tenaga
Untuk dapat sampai
Kepada kedalaman.
Demikian kata saya, para penyair,
pujangga, sastrawan,
dan mungkin juga Tuhan


Makna Cinta
Apabila pegang-pegangan tangan,
Ciuman,
Dan semacamnya
Adalah
Ekspresi dari cinta,
Tentu
Ayam,
Kambing,
Dan sahabat-sabatnya
Yang paling memilki otoritas atas
Makna cinta

Artis atau Aktor
Artis atau aktor adalah
Orang yang mampu berbahagia dan menderita
Pada waktu yang sama.


Sejarah
Kata orang Islam
Usia zaman sudah sangat renta.
Ajal menjelang tiba.
Kata orang Yahudi
Sejarah masih sangat lama.
Menunggu mereka jaya.
Kata sebagian orang
Zaman masih usia kanak-kanak,
Jauh dari matang.
Tampaknya kanak-kanak,
Sudah tua dan semacamnya
Bukanlah usia.
Tetapi
Penafsiran
Yang sangat bergantung
Pada nasib orang yang mengatakannya.


Penerjemah
Penerjemah adalah pembohong
Yang terus menerus
Berusaha untuk tidak berbohong,
Namun pada akhirnya
Ia gagal dan
Mengakui ia pasti selalu gagal.
Tetapi ia berkeyakinan
Bahwa
Puncak kejujuran adalah
Kebohongan yang dinyatakan dan diakui
Secara jujur.


Orang Tua
Orang tua pasti pandai
Bercerita
Namun belum tentu pandai
Mendengarkannya.


Sedia Payung
Apabila semua orang mengamalkan petuah
Sedia payung sebelum hujan,
Niscaya
Bumi banyak berlobang.
Sebab
Semua orang menyiapkan kuburan
Sebelum
Hari kematian.


Diam
Diam adalah bahasa,
Namun
Semakin anda berbicara banyak
Dengan bahasa itu
Orang semakin tak paham
Dengan anda.


Rangkap Jabatan
Sulitnya zaman ini,
Karena
Semua orang merangkap jabatan
Dan peran.
Hakim merangap
Terpidana.
Polisi merangkap pencuri.
Ilmuwan, kiai dan politisi merangkap
Pedagang.
Para pengkhutbah merangkap Tuhan


Bahasa
Bahasa adalah wadah yang sangat elastis
Untuk menampung makna
Apa saja.
Bahkan,
Satu kata
Mampu menampung makna
Melebihi disket atau hard disk
Yang bergiga-giga.
Bahkan ia dapat menampung seluruh duniadan seisinya,
Termasuk
Seluruh disket dan hard disknya.


Kebebasan
Siapa bilang manusia lahir
Dalam kebebasan.
Buktinya,
Ia tak memiliki hak memilih orang tua
Yang melahirkan.


Eyang Eanstein
Eyang eanstein bilang
“Tuhan tidak bermain dadu”,
Karena
Setiap peerjaan-Nya menurut eyang
Dijalankan dengan tahapan
Dan penuh rencana.
Anehnya,
Banyak orang yang mengaku berTuhan
Justeru sering bermain dadu
untuk mempermainkan
Tuhannya.
“Tuhan yang mencukupi kita” kata mereka
Tanpa usaha.


Daya Tampung Kata-kata
Kata-kata mampu
Menyimpan memory
Jah lebih banyak
Ketimbang harddisk
Dan semacamnya.
Dunia dan seluruh isinya
Termasuk semua harddisk yang ada
Kadang hanya disimpan
Dalam satu kata

Source: Tadarus Kehidupan_IBNU BURDAH

Potret Anak Muda Masa Kini

by Galih Satria |

Kalaulah boleh, izinkan saya mengutip sedikit dalil berikut ini

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Al-Qur’an, Surat An-Nuur (24) ayat 30

Dari Umar r.a, dari Nabi SAW telah bersabda: “Tidaklah berdua-duaan lelaki dengan seorang perempuan melainkan orang yang ketiganya adalah syaitan”
HR. At-Turmizi

Saya bukan termasuk orang yang sangat kaku dalam memandang pergaulan anak muda, asal tahu batas-batasnya. Tapi, ketika saya melihat kenyataan yang terpampang di mata saya, saya benar-benar merasa trenyuh dan tak bisa berkata apa-apa. Saya sebenarnya tidak suka menulis sambil berdalil, tahu diri lah siapa saya, bukan kapasitas saya untuk berdalil. Mas ini atau mas ini jauh lebih capable. Namun kali ini, izinkan saya mengutip dua dalil yang sudah saya kutip di atas.


Lihatlah kolase ini. Ini saya ambil dari Pantai Marina Ancol. Sehabis main jet-ski ama klub sailing kantor, saya sempatkan berjalan-jalan ke sekitar Pantai Marina. Kalau di tempat umum saja mereka bisa semesra itu, bagaimana kalau di tempat yang lebih privat?

Beberapa tahun yang lalu, jilbab adalah pakaian yang mencirikan seorang muslimah. Jilbab yang saya kenal adalah kerudung yang menutupi rambut hingga sebatas lengan atas atau siku. Tapi rasanya, sejak generasi Inneke Koesherawati dan Ratih Sanggarwati memperkenalkan jilbab modifikasi yang diikat di leher itu, jilbab terus berkembang dan akhirnya dirampok dari ciri seorang muslimah.

Kembali ke laptop!

Ingat lagu Chrisye? “Engkau masih anak sekolah satu SMA, belum tepat waktu untuk begitu begini…” Wah, lagu ini kayaknya sudah kadaluarsa ya? Sekarang telah menjadi opini umum di kalangan anak muda, bahwa punya pacar itu adalah harus, jika tidak, kamu akan dianggap tidak laku dan tidak pandai bergaul. Jika sudah punya, tentu, namanya bukan pacaran jika tidak ada representasi kasih sayang seperti kata-kata manis, perhatian, pelukan di pundak, atau sandaran di bahu, dan tentu saja… ciuman sayang .

Well, kampanye yang dilakukan oleh anak muda yang mengistilahkan diri sebagai akhwat dan ikhwan saya anggap kontraproduktif jika ditinjau dari sisi marketing. Apa yang mereka lakukan dengan langsung tembak frontal — yaitu memperkenalkan konsep yang sangat bertolak belakang — saya rasa tidak efektif karena kondisinya sudah terlalu rusak parah. Untuk masuk pasar yang sudah dikuasai oleh pemain raksasa, cara yang sering berhasil adalah dengan gerilya, bukan dengan serangan frontal. Untuk melawan opini yang telanjur mengakar, tentunya tidak harus dilawan dengan pembangunan opini yang frontal pula.

Laa Taqrabuz Zinaa


download

One Minute For Allah


download

Dalam Kesabaran Ada Kesadaran

Oleh: Gede Prama

Ada sebuah kebiasaan yang menyenangkan hati dan jiwa saya belakangan
ini. Setiap kali selesai melakukan meditasi, kemudian menemukan
rangkaian pemahaman yang layak untuk dibagi ke banyak orang hari itu,
maka saya tulislah pesan tadi ke dalam pesan SMS yang dikirim ke
puluhan sahabat. Dan tidak sedikit sahabat yang menerusakannya lagi
ke puluhan sahabatnya yang lain. Maka jadilah pesan-pesan SMS yang
selalu diawali dengan kata `Gede Prama's message of the day' sebagai
bahan renungan yang ditunggu banyak sahabat. Begitu ada minggu tanpa
SMS terakhir, tidak sedikit sahabat yang mengirimi saya SMS : mana
pesan untuk minggu ini ?

Kalau ada orang yang melakukan silaturahmi dengan cara mendatangi
rumah kawan, saya melakukan silahturahmi melalui SMS. Dan dalam pesan-
pesan SMS yang umumnya bertemakan cinta, keheningan, kebahagiaan dan
kesabaran, ada yang sempat bertanya, adakah mereka menerima pesan
dari seorang konsultan ataukah dari seorang pendeta ?. Dengan enteng
pertanyaan ini saya jawab, bahwa pesan ini datang dari seorang
gelandangan intelektual. Sebuah sebutan yang diberikan oleh salah
seorang sahabat, dan kebetulan saya menyukainya. Pasalnya,
pengembaraan saya telah melalui banyak sekali halaman-halaman rumah
orang lain.

Lahir dan besar memang di dunia manajemen, namun karena merasa tandus
dan kering di tempat lahir ini, saya melanjutkan pengembaraan ke mana-
mana. Seorang sahabat jurnalis yang merangkum karya saya, sempat
menyebut perjalanan saya sejauh ini sebagai campuran antara
psikologi, pilosopi dan religi. Dan apapun sebutan dan campurannya,
mirip dengan rumah yang saya tinggali ketika tulisan ini dibuat,
rumah intelektual saya juga tanpa pagar pemisah dan pagar penyekat.

Yang jelas ada satu hal yang amat membantu saya hidup hening dalam
rumah intelektual tanpa pagar : kesabaran. Kita masih bisa berdebat
tentang hubungan antara kualitas intelektual serta keheningan di satu
sisi, dengan kesabaran di lain sisi. Namun saya mendapat pelajaran
amat banyak dari kesabaran. Ia tidak saja menjadi mesin kebahagiaan,
tetapi juga mesin kejernihan dan keheningan.

Bila menoleh pada tangga-tangga pemahaman saya terdahulu, betapa
ketertutupan pikiran dan mind mudah sekali muncul dalam kualitas
kepribadian yang jauh dari kesabaran. Marah adalah pertanda ekstrim
yang muncul ke permukaan sebagai hasil produksi ketidaksabaran. Cuman
ketertutupan mind tidak bisa dilihat semudah kita melihat orang
marah. Ia sering kali hadir secara amat tersembunyi.

Ketika masih melanjutkan studi di Inggris dan sempat sedikit
terpesona dengan ide-ide orang seperti Derrida dan Foucault, pernah
terpikir untuk ikut mengkonstruksi mind ke dalam weak and strong
mind. Di mana kesabaran lebih dekat dengan weak mind, dan
ketidaksabaran menghasilkan strong mind. Namun, semakin sang
kesabaran diselami dan didalami, semakin saya dihadapkan pada
borderless mind, sebuah pemahaman tanpa sekat-sekat. Apapun isi mind
dari tua-muda, suka-duka, desa-kota, terdidik-tidak terdidik, sampai
dengan born and unborn mind, tetap saja sekat-sekat itu tidak banyak
membantu. Setiap bentuk sekat membuat perjalanan pemahaman tidak
tambah dalam, sebaliknya malah tambah dangkal.

Sebut saja sekat-sekat benar-salah, atau suka-tidak suka. Ia membuat
semua orang hanya mampu melihat sebagian kecil saja dari wajah dunia.
Apa lagi sekat-sekat menakutkan seperti ideologi dan agama yang
dibela dengan teror bom dan pada akhirnya menghasilkan air mata. Ia
disamping mendangkalkan, juga membuat sang kehidupan berwajah
mengerikan.

Bercermin dari sinilah, saya batalkan niat saya untuk ikut
mengkonstruksi weak and strong mind. Kemudian, berjalan terus bersama
kesabaran dengan sebuah cita-cita sederhana : melampaui mind.
Bedanya, kalau Derrida dan Foucault menggunakan kendaraan pikiran,
saya sedang belajar melampaui pikiran dengan jalan-jalan Yoga. Sebuah
jalan dengan teramat sedikit bahasa, kata-kata apa lagi sekat.

Di tingkat kesadaran, dunia memang tanpa pagar, pemisah dan tanpa
sekat. Namun, ia menjadi sulit dijangkau karena manusia biasa melihat
dan menjelaskan `hanya' melalui bahasa - dari mana sekat dan pemisah
itu berasal. Sungguh tidak mudah berkomunikasi, apa lagi
menerangkannya ke Anda bagaimana wajah sang kesadaran melalui media
bahasa. Ingin sebenarnya, suatu waktu kolom ini hanya ada foto dan
nama saya, dan sisanya hanya kertas kosong. Bila mana perlu tanpa
kertas, tanpa penjelasan, tanpa apa-apa. Yang ada hanya kosong
melompong. Sayangnya, pengelola majalah ini tidak cukup gila untuk
saya ajak masuk dalam kesadaran.

Kembali ke cerita awal saya tentang pesan-pesan SMS yang membuat
banyak teman bertanya heran apakah saya menekuni psikologi, pilosopi
atau malah religi, dari tempat pengembaraan saya kemukakan ke sahabat-
sahabat, saya hanyalah seorang pertapa yang disuruh jadi raja. Dan
dari kursi raja ini kemudian saya menemukan, kesabaranlah kendaraan
yang bisa membawa kita dalam kesadaran. Apakah Anda akan ikut saya,
tidak ikut atau lari ketakutan, itu urusan Anda masing-masing. Yang
jelas, begitu tulisan ini selesai dibuat - asal Anda tahu - saya lari
tunggang langgang meninggalkan penjelasan-penjelasan dangkal dan
memalukan ini.

Nasehat Abu Bakar RA

1. Cinta dunia adalah kegelapan, sedangkan lampu penerangnya adalah ketaqwaan.
2. Berbuat dosa adalah kegelapan, sedangkan lampu penerangnya adalah bertobat.
3. Kubur adalah kegelapan, sedangkan lampu penerangnya adalah bacaan “La ilaa ha illAllah     Muhammadur rasulullah”.
4. Alam akhirat itu penuh kegelapan, sedangkan penerangnya adalah amal shalih.
5. Shirath sangat gelap, sedangkan penerangnya adalah yaqin.

Ketika Mas Gagah Pergi

Oleh : Helvi Tyana Rosa

Mas gagah berubah! Ya, beberapa bulan belakangan ini masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah!

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Tehnik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja?ganteng !Mas Gagah juga sudah mampu membiayai sekolahnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku ke mana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak bagiku.

Saat memasuki usia dewasa, kami jadi semakin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda dengan teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelocon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan-makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya.

"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?"

"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang rumahku suka membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?!"

"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?"

Dan banyak lagi lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku Cuma mesem-mesem bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum juga punya pacar. Apa jawabnya?

"Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran?, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! He..he..he?"Kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah cowok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tetapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tetapi tidak pernah meninggalkan shalat!

Itulah Mas Gagah!

Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah! Drastis! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana?

"Mas Gagah! Mas! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras. Tak ada jawaban. Padahal kata Mama, Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa Arab gundul. Tak bisa kubaca. Tetapi aku bisa membaca artinya: Jangan masuk sebelum memberi salam!

"Assalaamu?alaikum!"seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

"Wa alaikummussalaam warohmatullahi wabarokatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?" tanyanya.

"Matiin kasetnya!"kataku sewot.

"Lho memangnya kenapa?"

"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab?, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.

"Ini Nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita!"

"Bodo!"

"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek.., Mama bingung. Jadinya ya dipasang di kamar."

"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru?,eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"

"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan?"

"Pokoknya kedengaran!"

"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus lho!"

"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" Aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Ke mana kaset-kaset Scorpion, Wham, Elton John, Queen, Eric Claptonnya?"

"Wah, ini nggak seperti itu Gita! Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lainlah ya dengan nasyid senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok!" begitu kata Mas Gagah.

Oala.

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak Cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!"

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.

"Penampilanmu kok sekarang lain Gah?"

"Lain gimana Ma?"

"Ya nggak semodis dulu. Nggak dendy lagi. Biasanya kamu kan paling sibuk sama penampilan kamu yang kayak cover boy itu?"

Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."

Ya, dalam pandanganku Mas Gagah kelihatan menjadi lebih kuno, dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino." Komentarku menyamakannya dengan supir kami. "Untung aja masih lebih ganteng."

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu. Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama dan bercanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah kebingungan.

Dan..yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?"

"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau jabatan tangan sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!"

"Justru karena Mas menghargai dia, makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada yang amat sabar. "Gita lihat kan gaya orang Sunda salaman? Santun tetapi nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"

Huh, nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu?, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?"

Mas Gagah membuka sebuah buku dan menyorongkannya kepadaku."Baca!"

Kubaca keras-keras. "Dari Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah, Rasulullah Saw tidak pernah berjabatan tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhori Muslim."

Mas Gagah tersenyum.

"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali?," kataku.

"Bukankah Rasulullah qudwatun hasanah? Teladan terbaik?" Kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengerti ya dik manis?"

Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.

Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik. Aku jadi khawatir, apa dia lagi nuntut ilmu putih? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun akhirnya aku tidak berani menduga demikian. Mas Gagah orangnya cerdas sekali. Jenius malah. Umurnya baru dua puluh satu tahun tetapi sudah tingkat empat di FT-UI. Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya?yaaa akhir-akhir ini dia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.

"Mau kemana Gita?"

"Nonton sama temen-temen." Kataku sambil mengenakan sepatu."Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya."

"Ikut Mas aja yuk!"

"Ke mana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah. Gita kayak orang bego di sana!"

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu lalu Mas Gagah mengajak aku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tablig akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku diliatin sama cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya aku ke sana dengan memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tidak bisa disembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.

"Assalamualaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman Mas Gagah. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku?, persis kelakuannya Mas Gagah.

"Lewat aja nih, Gita nggak dikenalin?"tanyaku iseng.

Dulu nggak ada teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah bahkan nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome.
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt."

Seperti biasa aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keislaman, diskusi, belajar baca Quran atau bahasa Arab? yaa begitu deh!

"Subhanallah, berarti kakak kamu ihkwan dong!" Seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah hampir sebulan berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.

"Ikhwan?? ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" Suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

"Husy, untuk laki-laki ikhwan dan untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita." Ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

"Udah deh Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji. Insya Allah kamu akan tahu menyeluruh tentang agama kita ini. Orang-orang seperti Hendra, Isa atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya aja yang belum ngerti dan sering salah paham."

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku ia menjelma begitu dewasa.

"Eh kapan kamu main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat Gita?mesti kita mempunyai pandangan yang berbeda, " ujar Tika tiba-tiba.

"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah?" kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih?"

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin." Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk, biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan dengan Mbak Ana.

"Mbak Ana?"

"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amerika malah pakai jilbab. Ajaib. Itulah hidayah.

"Hidayah."

"Nginap ya. Kita ngobrol sampai malam dengan Mbak Ana!"

"Assalaamualaikum, Mas ikhwan.. eh Mas Gagah!" tegurku ramah.

?Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" Kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

"Dari rumah Tika, teman sekolah, "jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?"tanyaku sambil mengitari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku keislaman?

"Cuma lagi baca!"

"Buku apa?"

"Tumben kamu pingin tahu?"

"Tunjukkin dong, Mas?buku apa sih?"desakku.

"Eiit?eiitt Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya. Dia tertawa dan menyerah. "Nih!"serunya memperlihatkan buku yang tengah dibacanya dengan wajah yang setengah memerah.

"Naah yaaaa!"aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku "Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam" itu.

"Maaas?"

"Apa Dik Manis?"

"Gita akhwat bukan sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Gita akhwat atau bukan? Ayo jawab?" tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara padaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami umatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu menjadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal-lainnya. Dan untuk pertamakalinya setelah sekian lama, aku kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus bicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya.

"Mas kok nangis?"

"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena umat banyak meninggalkan Quran dan sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan dan tidur beratap langit."

Sesaat kami terdiam. Ah Mas Gagah yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli?

"Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" Tanya Mas Gagah tiba-tiba.

"Gita capek marahan sama Mas Gagah!" ujarku sekenanya.

"Memangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"

"Tenang aja. Gita ngerti kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan demikian. Aku ngerti deh meskipun tidak begitu mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani buku-buku milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah.

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi seperti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan bersama kini berbeda dengan yang dulu. Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat di mana tablig akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah. Kadang-kadang, bila sedikit terpaksa, Mama dan Papa juga ikut.

"Apa nggak bosan, Pa?tiap Minggu rutin mengunjungi relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"

Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung, soalnya pengantinnya nggak bersanding tetapi terpisah. Tempat acaranya juga begitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu juga diberi risalah nikah. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tidak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Harus Islami dan semacamnya. Ia juga mewanti-wanti agar aku tidak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek.
Aku nyengir kuda.

Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku, soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab. Git!" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol. Lagian belum mau deh jreng.

Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun jika pakai jilbab dan lebih dicintai Allah kayak Mama."

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab, gara-garanya dinasihati terus sama Mas Gagah, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin oleh teman-teman pengajian beliau.

"Gita mau tapi nggak sekarang," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku, prospek masa depan dan semacamnya.

"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu cepat sekali terpengaruh dengan Mas Gagah.

"Ini hidayah, Gita." Kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.

"Hidayah? Perasaan Gita duluan yang dapat hidayah, baru Mama. Gita pakai rok aja udah hidayah.

"Lho! " Mas Gagah bengong.

Dengan penuh kebanggaan kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara studi tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya. Aku yang berada di antara ratusan peserta rasanya ingin berteriak, "Hei itu kan Mas Gagah-ku!"

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa. Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Quran dan hadits. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung, "Lho Mas Gagah kok bisa sih?" Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar.

Pada kesempatan itu Mas Gagah berbicara tentang Muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi. "Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana takwa, sebagai identitas Muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam itu sendiri, " kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Kini tiap katanya kucatat di hati.

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan cara memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdallah.

Aku mau kasih kejutan kepada Mas Gagah. Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapkan tasyakuran ulang tahun ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira. Memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberi ceramah pada acara syukuran yang insya Allah akan mengundang teman-teman dan anak-anak yatim piatu dekat rumah kami.

"Mas ikhwan! Mas Gagah! Maasss! Assalaamualaikum! Kuketuk pintu Mas Gagah dengan riang.

"Mas Gagah belum pulang. "kata Mama.

"Yaaaaa, kemana sih, Ma??" keluhku.

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus?"

"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam Minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Mesjid. "

"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah ingat ada janji sama Gita hari ini." Hibur Mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali sama Mas Gagah.

"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

Sudah lepas Isya? Mas Gagah belum pulang juga.

"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh.." hibur Mama lagi.

Tetapi detik demi detik menit demi menit berlalu sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

"Nginap barangkali, Ma." Duga Papa.

Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa."

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

"Kriiiinggg!" telpon berdering.

Papa mengangkat telpon,"Hallo. Ya betul. Apa? Gagah?"

"Ada apa, Pa." Tanya Mama cemas.

"Gagah?kecelakaan?Rumah Sakit Islam?" suara Papa lemah.

"Mas Gagaaaaahhhh" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Kaki, tangan dan kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika sedang Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami masuk ke dalam ruangan.

" Tetapi saya Gita adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau melihat saya pakai jilbab ini." Kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.

Mama dengan lebih tenang merangkulku. "Sabar sayang, sabar."

Di pojok ruangan Papa dengan serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada acara syukuran Gita kan?" Air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding-dinding putih rumah sakit. Dan dari kaca kamar, tubuh yang biasanya gagah dan enerjik itu bahkan tak bergerak.

"Mas Gagah, sembuh ya, Mas?Mas..Gagah, Gita udah menjadi adik Mas yang manis. Mas..Gagah?" bisikku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah?Gita, Mama, Papa butuh Mas Gagah?umat juga."

Tak lama Dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama Papa, Mama dan Gi.."

"Gita?" suaraku serak menahan tangis.

Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya sesuai permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya?lukanya terlalu parah." Perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!.

"Mas?ini Gita Mas.." sapaku berbisik.

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai jilbab, kataku lirih. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya."

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

"Dzikir?Mas." Suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat tubuh Mas Gagah yang separuhnya memakai perban. Wajah itu begitu tenang.

"Gi..ta?"
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali.

"Gita di sini, Mas?"
Perlahan kelopak matanya terbuka.

"Aku tersenyum."Gita?udah pakai?jilbab?" kutahan isakku.
Memandangku lembut Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdallah.

"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas?" ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tidak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah?sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali. Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan tampaknya Mas Gagah menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas gagah semakin pucat, tetapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia masih bisa mendengar apa yang kami katakan, meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi air mata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak?Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup, tetapi sebagai insan beriman sebagaimana yang juga diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

"Laa?ilaaha?illa..llah?Muham?mad Ra..sul ?Allah? suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk bisa kami dengar.

Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi. Selamat jalan Mas Gagah.


Epilog:

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku. Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Illahi yang selamanya tiada kan kudengar lagi. Hanya wajah para mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema d iruangan ini.

Setitik air mataku jatuh lagi.

"Mas, Gita akhwat bukan sih?"

"Ya, insya Allah akhwat!"

"Yang bener?"

"Iya, dik manis!"

"Kalau ikhwan itu harus ada janggutnya, ya?!"

"Kok nanya gitu sih?"

"Lha, Mas Gagah kan ada janggutnya?"

"Ganteng kan?"

"Uuuuu! Eh, Mas, kita kudu jihad ya?" Jihad itu apa sih?"

"Ya always dong, jihad itu?"

Setetes, dua tetes air mataku kian menganak sungai. Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan. Selamat jalan Mas Ikhwan!Selamat jalan Mas Gagah!

Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi, Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!

Syaikh bin Baz & Seorang Pencuri

Oleh: Syaikh Mamduh Farhan al Buhairi

Salah seorang murid Syaikh ‘Ibn Utsaimin rahimahullah menceritakan kisah ini
kepadaku. Dia berkata: “Pada salah satu kajian Syaikh Utsaimin rahimahullah di Masjidil
Haram, salah seorang murid beliau bertanya tentang sebuah masalah yang didalamnya
ada syubhat, beserta pendapat dari Syaikh Bin Baz rahimahullah tentang masalah
tersebut. Maka Syaikh Utsaimin menjawab pertanyaan penanya serta memuji Syaikh bin
Baz rahimahullah. Di tengah-tengah mendengar kajian, tiba-tiba ada seorang lelaki
dengan jarak kira-kira 30 orang dari arah sampingku kedua matanya mengalirkan air
mata dengan deras, dan suara tangisannyapun keras hingga para muridpun
mengetahuinya.
Di saat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah selesai dari kajian, dan majelis sudah
sepi aku melihat kepada pemuda yang tadi menangis. Ternyata dai dalam keadaan sedih,
dan bersamanya sebuah mushhaf. Akupun lebih mendekat hingga kemudian aku bertanya
kepadanya setelah kuucapkan salam: “Bagaimana kabarmu wahai akhi, apa yang
membuatmu menangis?”
Maka diapun menjawab dengan bahasa yang mengharukan: “Jazakallahu khairan.”
Akupun mengulangi pertanyaanku sekali lagi: “Apa yang membuatmu menangis akhi?”
Diapun menjawab dengan tekanan suara yang haru: “Tidak ada apa-apa, sungguh aku
telah ingat Syaikh bin Baz, maka akupun menangis.” Kini menjadi jelas bagiku dari
penuturannya bahwa dia dari Pakistan, sedang dia mengenakan pakaian orang Saudi.
Dia meneruskan keterangannya: “Dulu aku mempunyai sebuah kisah bersama
Syaikh bin Baz rahimahullah, yaitu sepuluh tahun yang lalu aku bekerja sebagai satpam
pada salah satu pabrik batu bata di kota Thaif. Suatu ketika datang sebuah surat dari
Pakistan kepadaku yang menyatakan bahwa ibuku dalam keadaan kritis, yang
mengahruskan operasi untuk penanaman sebuah ginjal. Biaya operasi tersebut
membutuhkan tujuh ribu Riyal Saudi (kurang lebih 17,5 juta Rupiah). Jika tidak segera
dilaksanakan operasi dalam seminggu, bisa jadi dia akan meninggal. Sedangkan beliau
sudah berusia lanjut.
Saat itu, aku tidak memiliki uang selian seribu Riyal, dan aku tidak mendapati
orang yang mau memberi atau meminjami uang. Maka akupun meminta kepada
perusahaan untuk memberiku pinjaman, Mereka menolak, Aku menangis sepanjang hari.
Dia adalah ibu yang telah merawatku dan tidak tidur karena aku.
Pada situasi yang genting tersebut, aku memutuskan untuk mencuri pada salah satu
rumah yang bersebelahan dengan perusahaan pada jam dua malam. Beberapa saat setelah
aku melompati pagar rumah, aku tidak merasa apa-apa kecuali para polisi tengah
menangkap dan melemparkanku ke mobil mereka. Setelah itu duniapun terasa menjadi
gelap.
Tiba-tiba, sebelum shalat subuh para polisi mengembalikanku ke rumah yang telah
kucuri. Mereka memasukkanku ke sebuah ruangan kemudian pergi. Tiba-tiba ada seorang
pemuda yang menghidangkan makanan seraya berkata: “Makanlah, dengan membaca
bismillah!” Aku pun tidak mempercayai apa yang tengah kualami. Saat adzan shalat
subuh, mereka berkata kepadaku, “Wudhu’lah untuk shalat!” Saat itu rasa takut masih
menyelimutiku. Tiba-tiba datang seorang lelaki yang sudah lanjut usia dipapah salah
seorang pemuda masuk menemuiku. Kemudian dia memegang tanganku dan
mengucapkan salam kepadaku seraya berkata: “Apakah engkau sudah makan?” Akupun
menjawab: “Ya, sudah.” Kemudian dia memegang tangan kananku dan membawaku ke
masjid bersamanya. Kami shalat subuh. Setelah itu aku melihat lelaki tua yang
memegang tanganku tadi duduk di atas kursi di bagian depan masjid, sementara jama’ah
shalat dan banyak murid mengitarinya. Kemudian syaikh tersebut memulai berbicara
menyampaikan sebuah kajian kepada mereka. Maka akupun meletakkan tanganku di atas
kepalaku karena malu dan takut.
Ya, Alloh, apa yang telah aku lakukan? Aku telah mencuri di rumah Syaikh bin Baz
rahimahullah. Sebelumnya aku telah mendengar nama beliau, dan beliau telah terkenal di
negeri kami, Pakistan.
Setelah Syaikh bin Baz selesai dari kajian, mereka membawaku ke rumah sekali
lagi. Syaikh pun memegang tanganku, dan kami sarapan pagi dengan dihadiri oleh
banyak pemuda. Syaikh mendudukanku di sisi beliau. Di tengah makan beliau bertanya
kepadaku: “Siapakah namamu?” Kujawab: “Murtadho.” Beliau bertanya lagi: “Mengapa
engkau mencuri?” Maka aku ceritakan kisah ibuku. Beliau berkata: “Baik, kami akan
memberimu 9000 Riyal.” Aku berkata kepada beliau: “Yang dibutuhkan Cuma 7000
Riyal.” Beliau menjawab: “Sisanya untukmu, tetapi jangan lagi mencuri wahai anakku.”
Aku mengambil uang tersebut, dan berterima kasih kepada beliau dan berdoa untuk
beliau. Aku pergi ke Pakistan, lalu melakukan operasi untuk ibuku. Alhamdulillah, beliau
sembuh. Lima bulan setelah itu, aku kembali ke Saudi, dan langsung mencari keberadaan
Syaikh bin Baz rahimahullah. Aku pergi rumah beliau. Aku mengenali beliau dan
beliaupun mengenali aku. Kemudian beliaupun bertanya tentang ibuku. Aku berikan
1500 Riyal kepada beliau, dan beliau bertanya, “Apa ini?” Kujawab: “Itu sisanya.” Maka
beliau berkata: “Ini untukmu.” Kukatakan: “Wahai Syaikh, saya memiliki permohonan
kepada anda.” Maka beliau menjawba: “Apa itu wahai anakku?” Kujawab: “Aku ingin
bekerja pada anda sebagai pembantu atau apa saja, aku berharap dari anda wahai Syaikh,
janganlah menolak permohonan saya, mudah-mudahan Alloh menjaga anda.” Maka
beliau menjawab: “Baiklah.” Akupun bekerja di rumah Syaikh hingga wafat beliau.
Selang beberapa waktu dari pekerjaanku di rumah Syaikh, salah seorang pemuda
yang mulazamah kepada beliau memberitahuku tentang kisahku ketika aku melompat ke
rumah beliau hendak mencuri di rumah Syaikh. Dia berkata: “Sesungguhnya ketika
engkau melompat ke dalam rumah, Syaikh bin Baz saat itu sedang shalat malam, dan
beliau mendengar sebuah suara di luar rumah. Maka beliau menekan bel yang beliau
gunakan untuk membangunkan keluarga untuk shalat fardhu saja. Maka mereka
terbangun semua sebelum waktunya. Mereka merasa heran dengan hal ini. Maka beliau
memberitahu bahwa beliau telah mendengar sebuah suara. Kemudian mereka memberi
tahu salah seorang menjaga keamanan, lalu dia menghubungi polisi. Mereka datang
dengan segera dan menangkapmu. Tatkala Syaikh mengetahui hal ini, beliau bertanya:
“Kabar apa?” Mereka menjawab: “Seorang pencuri berusaha masuk, mereka sudah
menangkap dan membawanya ke kepolisian.” Maka Syaikhpun berkata sambil marah:
“Tidak, tidak, hadirkan dia sekarang dari kepolisian, dia tidak akan mencuri kecuali dia
orang yang membutuhkan.”
Maka di sinilah kisah tersebut berakhir. Aku katakan kepada pemuda tersebut:
“Sungguh matahari sudah terbit, seluruh umat ini terasa berat, dan menangisi perpisahan
dengan beliau. Berdirilah sekarang, marilah kita shalat dua rakaat dan berdoa untuk
Syaikh rahimahullah.
Mudah-mudahan Alloh merahmati Syaikh bin Baz dan Ibnu Utsaimin dan
menempatkan keduanya di keluasan surga-Nya. Amiin.

Saturday, June 21, 2008

Ala Bisa Karena Biasa

Mitranetra, 20 October 2006

Bau minyak tawon yang menyetubuhi suasana sepi menyambut kedatangan Ati. Perempuan berusia 26 tahun itu maklum. Rumah berbentuk"L" di kawasan Ciledug yang didatanginya siang itu adalah sebuah panti pijat. Sepertinya sang tuan rumah baru saja memijat seorang pasien.

"Silakan masuk, mbak" seorang lelaki buta menyambutnya. Rusidi, itulah namanya. Lelaki berusia 30-an itu baru selesai menyapu ruangan. Rupanya ia sedang siap-siap menerima kedatangan Ati yang memang telah diberitahukan sebelumnya.

Ati kagum. Tadi, ia sempat melihat tuan rumah yang sedang menyapu lantai tempat tinggalnya. Meski sesekali tongkat sapunya berderak mengadu kaki meja kursi, tapi orang buta itu ternyata berhasil membersihkan ruangan itu hingga tak satu pun sampah tersisa.

Mengikuti tuan rumah. Ati melangkah ke dalam ruangan dimana beberapa bangku dan sebuah meja plastik terpasang. Itu adalah ruang tamu. Ati duduk di sana.

"Saya bikinin minuman dulu, mbak ya," Rusidi melangkah ke ruang samping. Beberapa peralatan makan dan toples gula dan kopi terlihat di meja di ruangan mirip lorong itu. Tapi, tak ada wastapel di situ. Di ujungnya, sebuah kamaar mandi dengan pintu yang sedikit terkuak menebarkan bau sabun.

Sembari menunggu, Ati mengedarkan pandangan ke tiga ruangan lain yang berderet-deret di samping kanannya. Ruangan yang disekat dengan triplek itu adalah tempat Rusidi dan kedua orang temannya memijat pasien-pasien mereka. Dan dari situlah bau minyak tawon itu berasal. Ia juga memperhatikan dengan seksama semua yang dilakukan tuan rumahnya.

Perempuan yang bekerja di sebuah salon kecantikan di daerah Margonda itu Heran. Bbagaimana tuan rumah itu tahu letak benda-benda di sekelilingnya, padahal dia tak melihatnya. Ia juga tak habis mengerti demi menyaksikan Rusidi menuangkan air panas dari termos ke gelas. Meski kedua matanya tak berfungsi, tapi dia dengan cekatan membuatkan minuman buat tamunya. Menyiapkan gelas bersih, mengisinya dengan teh dan gula, lalu menuangkan air panas ke dalamnya. Tak setetes pun air tumpah seperti yang sebelumnya diduga Ati.

Ini adalah kali pertama Ati bertemu orang buta. Sebelumnya, meski sering mendengar bahwa orang-orang buta memiliki indera yang sangat peka, tapi baru kali ini ia membuktikannya.

Sebelumnya Ati ragu mendatangi panti pijat itu. Ia belum pernah melihat si tuan rumah. Cuma suara lelaki itu yang beberapa kali dedengarnya, itu pun lewat telepon. Saat itu, Rusidi mengaku kenal Ati dari seorang teman. Tapi, karena dorongan rasa ingin tahu, gadis berusia 23 tahun itu memberanikan datang ke tempat itu.

Hanya satu jam gadis berjilbab lebar itu beradda di tempat Rusidi. Tapi itu sudah cukup membuatnya kagum pada kepekaan indera orang-orang buta. Dia bahkan nyaris merasa yakin kalau setiap orang buta memiliki kepekaan inderawi dibanding mereka yang berpenglihatan.

ooOOOoo

Pertemuan di pertengahan tahun 1998 itu tak berlanjut. Cuma sekali kemudian Ati berkunjung ke tempat itu. Tapi, nasib membawa Ati bertemu ddengan seorang buta yang lain. Pertemuan yang kedua itu jauh lebih serius, karena menjadi penentu masa depannya.

Itu terjadi di awal tahun 2006, dan Lelaki buta bernama Ismail itu melamarnya. Dan hanya dua bulan kemudian mereka sudah menjadi suami istri.

Seolah membangkitkan kenangan masa lalunya, lelaki yang kini jadi suaminya itu beberapa kali menunjukkan bahwa indera orang buta jauh lebih peka dari orang kebanyakan.

Sekali peristiwa suaminya pernah mengingatkan Ati tentang air yang kelewat mendidih. Sebagian bahkan telah habis menguap, karena terlalu lama dikompori. Padahal, saat itu dirinya berada di dekat kompor gas, sementara suaminya baru saja keluar dari kamar mandi.

Kali yang lain, suaminya juga mengingatkannya kalau Ati lupa memakai helm. Saat itu mereka tengah berada di atas motor, dan ia tak sadar kalau kepalanya tak berhelm.

Tak jarang pula suaminya berhasil menenggarai keberadaan Ati, meski lelaki itu asyik mengetik di depan komputer bicara. Padahal, Ati sudah berusaha berendap mendekati sang suami agar tak ketahuan.

Selain dari suami, Ati juga banyak mendapatkan pelajaran dari para buta lain. Ia dan suaminya memang tinggal di asrama orang buta milik Yayasan Raudlatul Makfufin (Yarfin), sebuah lembaga kebutaan yang bergerak di bidang pembinaan agama Islam.

Ati sering kali melihat bagaimana orang-orang buta itu mendeteksi barang-barang pribadinya di meja, atau lemari, atau pakaian yang kadang bertumpuk-tumpuk di atas jemuran.

Orang-orang buta itu tampaknya selalu berhasil menemukan barang-barang tersebut dengan hanya meraba atau mencium baunya. Mereka seolah menemukan fungsi mata pada setiap jemari, juga pada setiap lubang hidung, atau daun telinganya.

Tapi, Ati beberapa kali menemui orang buta yang kebingungan mencari barang-barang miliknya. Biasanya hal itu terjadi jika barang-barang tersebut dipindahkan orang lain. Karena itu, Ati selalu mengingatkan dirinya untuk tidak memindahkan sembarangan barang-barang yang ditaruh suaminya, atau penghuni asrama yang lain, dari tempatnya semula. Ia kini tahu, setiap perpindahan berarti tambahan energi sia-sia yang harus dikeluarkan untuk menemukannya kembali.

Berkat pergaulannya yang cukup intensif dengan orang-orang buta itu, Ati tak lagi beranggapan bahwa kepekaan inderawi yang mereka miliki itu datang begitu saja. Itu bukanlah hadiah yang bisa diraih oleh setiap orang karena kebutaannya. Sebaliknya, kemampuan itu mereka dapatkan karena terbiasa menggunakan indera-indera selain mata sebagai alat pendeteksi.

Ati tahu, kemampuan para buta itu sesuai pepatah,"Ala Bisa Karena Biasa".

Ismail Prawira Kusuma

Followers